TEMPO.CO
Jakarta – Sebuah inovasi baru di bidang material barokalorik (material yang mengalami perubahan suhu akibat tekanan) menawarkan solusi untuk menjaga kulkas dan AC tetap dingin tanpa menambah beban pemanasan global. Dengan memanfaatkan material ini, kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri pendingin yang ada saat ini.
Bagaimana Kulkas dan AC Bekerja
Kulkas dan AC beroperasi dengan mengedarkan cairan dalam sistem mereka yang mampu menyerap panas, menghasilkan efek pendinginan melalui siklus evaporasi dan kondensasi. Namun, banyak dari cairan yang digunakan saat ini berkontribusi terhadap efek rumah kaca, yang berujung pada pemanasan global saat terjadi kebocoran.
Inovasi dari Deakin University
Jenny Pringle dan timnya dari Institute for Frontier Materials, Deakin University, Australia, memperkenalkan alternatif ramah lingkungan untuk cairan pendingin. Mereka menggunakan kristal plastik ionik organik yang memiliki molekul-molekul yang dapat bergerak, sehingga membuatnya cukup encer untuk digunakan dalam sistem pendinginan.
Proses Transformasi Kristal
Kristal plastik ini dapat berubah bentuk ketika diberikan tekanan. Molekul-molekul di dalamnya akan bertransformasi dari posisi acak menjadi lebih teratur. Ketika tekanan dilepaskan, mereka kembali ke posisi acak, dan dalam proses itu, kristal menyerap panas, sehingga secara efektif menurunkan suhu di sekitarnya.
Pemanfaatan dan Batasan Material
Pringle mengakui bahwa metode pendinginan berbasis tekanan ini telah menjadi subjek penelitian sebelumnya. Namun, banyak material barokalorik yang ada hanya dapat berfungsi pada suhu moderat, yang membatasi efisiensi pendinginan yang dapat dihasilkan. Dia menambahkan bahwa kemampuan kristal plastik ionik organik ini dapat menyerap panas hingga mencapai suhu antara -37 hingga 10 derajat Celsius, yang sangat ideal untuk kulkas dan freezer rumah tangga.
Hambatan untuk Penggunaan Praktis
Meski menjanjikan, material baru ini masih berada di tahap penelitian dan belum siap untuk diterapkan di dunia nyata. Salah satu tantangannya adalah tekanan yang diperlukan untuk memicu transformasi kristal tersebut sangat tinggi—ratusan kali lipat dari tekanan atmosfer biasa, setara dengan tekanan yang ditemukan di kedalaman laut ribuan meter, seperti yang dijelaskan oleh Pringle.
Peluang dan Tantangan di Masa Depan
David Boldrin dari University of Glasgow menyatakan bahwa material seperti ini memiliki potensi besar untuk mendekarbonisasi industri yang besar, sesuai dengan temuan terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Science pada 2 Januari 2025. Namun, dia juga menyampaikan keprihatinan mengenai kebutuhan akan tekanan tinggi. Selain itu, Bing Li dari Akademi Ilmu Pengetahuan Cina menyoroti isu praktis lainnya yang mungkin muncul dari pendekatan pendinginan baru ini. Ia menjelaskan bahwa kemampuan menyerap panas dari setiap kristal kemungkinan akan menurun seiring dengan meningkatnya frekuensi proses karena susunan molekul yang semakin rapat. Meski demikian, Bing Li tetap optimis bahwa teknologi ini akan segera dapat diterapkan di dunia nyata.